Pencarian

+

Resah Yang Pertama

Resah Yang Pertama
Resah Yang Pertama

Malam ini, suasana begitu terang dan sunyi. Sangat sempurna untuk menggambarkan suasana asrama malam ini. Ditambah kegelapan yang meliputinya -karena semua lampu sudah dimatikan-menandakan seluruh santri sudah harus tidur. Namun siapa sangka, di antara sunyi dan gelapnya sekitar masih ada saja santri yang terjaga dan mengobrol dengan temannya.

“Di… ”

“Apaan?”

“Gimana kabar ujian kemarin? Lancar?”

“Alhamdulillah, lancar. Yang penting ana mah udah berdoa dan usaha yang maksimal. Terus kalo buat hasilnya, semoga aja dapet nilai yang memuaskan,” jawab temannya.

“Aamiin.”

Temannya mengaminkan.

Dan itulah mereka, Dani dan Aldi. Setelah berakhirnya ujian akhir semester yang menguras kerja otak. Akhirnya para santri bisa mernapas lega karena otaknya tak perlu bekerja lebih keras lagi. Dan entah, malam ini Dani sulit sekali untuk tidur hingga akhirnya menjadikan teman samping ranjangnya, Aldi, sebagai korban untuk menemaninya sampai Dani mengantuk. Dan Aldi sebenarnya sudah mengantuk. Namun saat ingin terlelap, Dani terus saja membangunkannya. Yang membuatnya mau tidak mau harus meladeni ocehan Dani.

“Di, bentar lagi kan mau liburan nih… ”

Untuk kesekian kalinya Dani mengganti topik.

“Terus… ?” Jujur, Aldi sudah sangat mengantuk.

“Jalan-jalan yuk… ajak yang lain juga sekalian biar rame.” Dani melanjutkan.

“Males, ah.” Dan ini adalah puncak dari kantuknya.

“Kenapa? Itung-itung refreshing biar gak bosen di rumah mulu… jarang-jarang nih kita jalan-jalan pas liburan. Ayolah, Di… Mau kan?” ujar Dani dengan sedikit memohon.

“…”

“Di?”

“…”

“Yah kan… ditinggal tidur. Gak seru nih.” Karena sudah tidak ada teman untuk diajak mengobrol, akhirnya Dani berdoa dan beruasaha untuk tidur meskipun sulit.

***

Waktu terus berjalan, menyisakan masa lalu yang hanya bisa dijadikan kenangan. Rentetan kegiatan telah santri lewati. Dimulai dari ujian akhir tahun, dilanjut dengan class meeting untuk sekedar refreshing setelah menghadapi ujian. Dan terakhir adalah penampilan kreatif para santri dalam acara Pentas Seni yang diikuti dengan antusias oleh para santri.

“Di, Liburan nanti ikut kan?” tanya Dani kepada Aldi. Mereka sedang mengobrol di depan asrama sambil memakan cemilan yang mereka beli tadi.

“Nggak kayaknya, takut orang tua ana nggak izinin,” jawab Aldi.

“Emang antum nggak bisa bujuk orang tua antum? Lagian jalan-jalannya gak jauh juga, kok. Yang penting antumnya dulu. Mau nggak?”

“Pengen sih, tapi… ” pikir Aldi sebentar, “yaudah, nanti ana coba usahain,” lanjutnya.

“Asyik… ” ucap Dani sengang sambil membuang sampahnya asal

“Astaghfirullah, Dani. Itu sampahnya jaangan dibuang sembarangan, dong.”

“Bentar lagi juga ada yang piket.”

“Identitas seorang muslim itu cinta kebersihan. Antum nggak bisa terus bergantung sama yang piket. Kalau bisa antum, kenapa harus mereka. Kesadaran kita akan pentingnya kebersihan harus sudah tertanam dalam diri kita, Dan.”

“Iya, deh… Maaf. Ana buang, deh,” ucap Dani mengerti, lalu mengambil sampah yang tadi ia buang dan berjalan menuju tempat sampah yang ada di seberang. Namun setelah membuang sampahnya, Dani malah tidak Kembali duduk di samping Aldi. Dia malah melanjutkan langkahnya meninggalkan Aldi yang masih terduduk.

“Dan, mau kemana?”

Namun Dani malah diam tak menjawab.

“Dan, maaf ya… abisnya antum si,” lanjut Aldi sambil mengejar dan menyajajari langkahnya dengan Dani.

“Gak apa-apa kok. Tapi, antum harus temenin ana ya?”

“Mau ngapain emang?”

“BAB!” ucap Dani tertawa sambil berlarian meninggalkan Aldi yang mematung sadar bahwa dirinya telah dikerjai.

“Untung temen.”

***

Pagi ini lebih cerah dari biasanya. Karena hari ini seluruh santri akan dijemput untuk menjalani waktu liburan mereka. Setelah menyelsaikan tahap-tahap dan syarat perpulangan, Aldi dan kedua orang tuanya pergi menuju rumah mereka dengan mobil. Suasana di dalam mobil ramai dengan obrolan antara Aldi dan kedua oran tuanya. Hingga tak sadar mereka akhirnya sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah.

Setelah mobil sudah terparkir rapi di garasi, Abi Aldi membantu Aldi menurunkan barang bawaannya. Setelah memastikan bahwa tidak ada lagi barang bawaannya di mobil, Aldi dan kedua orang tuanya berjalan menuju pintu rumah. Lalu membukanya.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Aldi saat memasuki rumahnya. Rumah Aldi tidaklah besar, namun terkesan minimalis dan nyaman. Ditambah sebuah taman kecil yang ada di halaman membuat siapapun akan betah jika bertamu di rumahnya.

“Yaudah. Kamu mending bersih-bersih dulu, gih. Biar gak bau. Habis itu sholat zuhur. Nanti biar Umi siapin makan siangnya,” Ucap uminya.

“Siap, Mi.”

***

Setelah melaksanakan sholat zuhur dan makan siang, Aldi mengobrol hangat dengan kedua orang tuanya di ruang keluarga. Berbagai pertanyaan terus dilontarkan kedua orang tuanya. Seperti bagaimana keadan Aldi di pondok, hafalan Qurannya, belajarnya, dan lain-lain. Sambil sesekali Aldi bercerita pengalamannya di pondok yang membuat kedua orang tuany geleng-geleng kepala dan tak jarang mereka malah tertawa.

Oh iya, Aldi teringat satu hal. Meminta izin. Namun dia masih ragu, diizinkan tidak ,ya. Atau lebih parahnya nanti malah dimarahi. Berbagai pikiran buruk terus muncul di kepalanya.

“Aldi, kamu lagi mikirin apa? Kok bengong?” Aldi tak sadar bahwa dirinya ternyata diperhatikan oleh ayahnya.

Duh, batin Aldi.

“Aldi… Ditanya loh sama Abi, jawab dong,” ucap uminya dengan lembut.

“A- Anu, Mi… Bi… Aldi mau minta izin. Temen Aldi ngajakin Aldi jalan-jalan nesok kamis. Jalan-jalannya gak jauh kok. Insya Allah Aldi bisa jaga diri. Boleh nggak, Mi, Bi?”

Kedua orang tuanya bertatap-tatapan sebentar, lalu tatapannya kini Kembali mengarah ke Aldi.

“Oh begitu… Yaudah, Abi izinkan. Asalkan nanti ingat waktu, jangan kemaleman pulangnya”

“Kalau Umi, sih… Gak apa-apa. Tapi jangan lupa kalo nanti bawa kendaraan yang hati-hati. Jangan ngebut-ngebut ya, Kak,” timpal uminya.

Aldi sedikit terkejut, tak menyangka bahwa respon kedua orang tuanya sangat santai dan tak semengrikan yang Aldi bayangkan.

“Siap… Syukron, Mi, Bi.”

“Afwan,” jawab kedua orang tuanya.

“Yaudah, Mi, Bi. Aldi izin ke kamar, ya. Mau istirahat. Ngantuk.”

“Gih, nanti Abi bangunin pas adzan ashar.”

“Oke, Bi.”

***

“Ya Allah, Aldi. Badan kamu panas banget,” ucap Umi Aldi khawatir saat menyentuh kening Aldi yang berbaring lemah di Kasur.

“Mi, gimana dong?” ucap Aldi lemas.

“Giaman apanya?”

“Hari ini kan Aldi mau jalan-jalan sama temen Aldi. Pasti temen Aldi udah nyamperin sekarang. Tapi Aldi kayaknya gak bisa ikut sekarang, Mi. Kepala Aldi pusing banget.”

“Kamu kan bisa bilang kalau kamu nggak bisa ikut. Lagi sakit.”

“Tapi, Mi… Aldi nggak enakan sama temen-temen Aldi. Nanti kalau mereka musuhin Aldi, gimana?”

“Sssst, Aldi gak boleh mikir begitu. Jangan mikirin suatu hal buruk yang itu aja belum tentu terjadi. Malah bikin Aldi pusing dan cemas sendiri akibat pikiran negatif kamu. Aldi harus bisa berpikir positif akan setiap kemungkinan, ya… Umi yakin, temen Aldi pasti paham sama keadaan Aldi. Coba aja dulu.”

Tak lama kemudian terdengar bunyi pintu diketuk.

Tok! Tok! “Assalamualaikum.” Terdengar suara salam dari luar.

“Waalaikumussalam,” jawab Aldi dan uminya dari dalam.

“Itu kayaknya temen kamu, deh. Umi samperin ya,” ucap uminya.

“Eh, nggak usah, Mi. Biar Aldi aja yang samperin.”

“Emang kamu gak apa-apa? “Nggak apa-apa kok, Mi,” ucap Aldi meyakinkan. Setelah itu Aldi mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu rumah dengan lemas lalu membukanya. Dan dilihatnya Dani yang sudah rapih berdiri di depan pintu.

“Di, Antum kenapa? Kok lemes banget?” ucap Dani menyadari keadaan temannya yang terlihat pucat dan lemas.

“A- Anu… Kayaknya Ana nggak bisa ikut antum, Dan. Kepala ana pusing banget.”

Aldi melihat Dani seperti sedang memikirkan sesuatu. Itu membuat Aldi merasa bersalah dan takut akan pikiran buruknya benar-benar terjadi.

“Jadi… Ana minta maaf, ya… Udah bikin antum repot-repot kesini. Bilangin juga ke yang lain kalau ana minta maaf nggak bisa ikut kalian.”

“Eh… Nggak usah minta maaf. Antum nggak salah, kok. Nggak apa-apa kalau antum gak bisa ikut, kan ada lain waktu. Yang ana pikirin tuh… kayaknya ana ketinggalan sesuatu, deh. Tapi ana lupa itu apa. Apa, ya… ?”

“Ooh, kirain apaan.”

Komentar
  1. Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar

Testimonial

Facebook

Twitter