Pencarian

+

“Pesantren, Contoh Implementasi Kampus Merdeka”

  • HOME
  • Artikel
  • “Pesantren, Contoh Implementasi Kampus Merdeka”
“Pesantren, Contoh Implementasi Kampus Merdeka”
“Pesantren, Contoh Implementasi Kampus Merdeka”

Dr. ADIAN HUSAINI: “Pesantren, Contoh Implementasi Kampus Merdeka”

Rewrite artikel “Menyikapi Kebijakan Kampus Merdeka” Oleh: Dr. Adian Husaini (Pimpinan Attaqwa Collage Depok, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

Awal tahun 2020 program Merdeka Belajar Mendikbud Nadiem Anwar Makarim memasuki episode lanjutan. Kali ini kebijakan tersebut menyentuh Pendidikan Tinggi. “Kampus Merdeka” dipilih sebagai tajuk untuk mempromosikan langkah inovasi Pak Menteri. Kebijakan ini dibuat sebagai tindak lanjut dari pernyataaannya di universitas Indonesia Desember tahun sebelumnya. Saat itu, menteri yang merupakan mantan CEO Gojek ini mengungkapkan bahwa saat ini kita memasuki era dimana “gelar tidak menjamin kompetensi” dan “akreditasi tidak menjamin mutu”. Langkah kebijakan Kampus Merdeka tersebut, meliputi empat hal: pertama, Otonomisasi untuk membuka Program Studi Baru bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS). Kedua, Tekhnis pelaksanaan akreditasi yang lebih fleksibel. Ketiga, kemudahan perubahan status menjadi PTN Badan Hukum. Keempat, pemberian hak kepada mahasiswa terkait mata kuliah di luar kampus dan SKS di luar prodi. Kebijakan terakhir ini juga termasuk merubah definisi SKS menjadi “jam mengajar” bukan lagi “jam belajar”. Kebijakan ini cukup mendapatkan apresiasi oleh banyak akademisi. Sebabnya, Pak Menteri memberikan peluang kebebasan kepada PTN/PTS sekaligus mahasiswanya agar lebih merdeka dalam menentukan progres perkuliahannya sendiri. inilah yang dimaksud dengan Merdeka Kampusnya, Merdeka Manusianya.

Multidimensi keilmuan

Bagaimanapun, reformasi termasuk bidang pendidikan memang sudah semestinya dilakukan. Apalagi saat ini kita memasuki Era Disrupsi yang serba berubah. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Dalam hal pemilihan lintas disiplin ilmu Kisah tentang Mark Zuckerberg dijadikan contoh dalam buku tersebut. Pria penemu Facebook ini memiliki lintas ilmu yang berbeda, Sejarah dan Filsafat Yunani (saat SMA) dan Psikologi (saat kuliah). Zuckerberg menyebut dalam aplikasi yang dibuatnya itu “porsi psikologi dan sosiologi sama banyak dan samakuatnya dengan teknologi.”

(AIPI) dalam bukunya yang berjudul “Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia” sudah mengingatkan hal ini. Menurutnya perubahan yang dilakukan harus bersifat mendasar bukan lagi perubahan yang di pinggir- pinggir (changing from the egde). Hal ini untuk menghidari agar Perguruan Tinggi Indonesia tidak lagi tertinggal. AIPI juga menegaskan agar segera merubah konsep linieritas yang masih dijalankan oleh Pendidikan Tinggi di Indonesia. Menurut AIPI konsep linearitas cukup dilakukan untuk pengelolaan program Studi saja. Selebihnya, realisasinya harus lebih banyak diserahkan kepada kreatifitas dosen dan Mahasiswa. Hal ini memungkinkan mahasiswa memiliki lintas disiplin ilmu.

 

Dalam hal pemilihan lintas disiplin ilmu Kisah tentang Mark Zuckerberg dijadikan contoh dalam buku tersebut. Pria penemu Facebook ini memiliki lintas ilmu yang berbeda, Sejarah dan Filsafat Yunani (saat SMA) dan Psikologi (saat kuliah). Zuckerberg menyebut dalam aplikasi yang dibuatnya itu “porsi psikologi dan sosiologi sama banyak dan sama kuatnya dengan teknologi.”

 

Pun dengan Steve Jobs sang arsitek Apple yang menyatakan bahwa “Dalam DNA Apple itu sendiri dijelaskan bahwa teknologi saja tidaklah cukup. Teknologi yang dikawinkan dengan liberal art, teknologi yang dikawinkan dengan humaniora-lah yang mengantarkan kita memperoleh hasil yang membuat hati kita puas.” Hal ini sejalan dengan konsep yang sudah berkembang saat ini, yaitu Polymath University. Sebagaimana dikutip dari artikel berjudul “Sarjana Menganggur dan Revolusi Pendidikan Tinggi”, (detik.com, 30/9/2019) Polymath University yang disebutkan oleh David Staley dalam bukunya Alternative Universities: Speculative Design for Innovation in Higher Education (2019) memungkinkan setiap mahasiswa mengambil tiga disiplin ilmu (triple majors), misalnya akuntasi-fisika-sejarah, dan atau kombinasi lainnya. Dasarnya adalah dunia kerja yang mensyaratkan lulusan yang berpikir lebih kreatif dan mempunyai banyak kompetensi. Untuk itulah, “Kampus Merdeka” Pak Menteri memperbolehkan mahasiswanya mengambil mata kuliah di prodi dan kampus lain selama dua semester (40 SKS).


Kampus Merdeka di Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren)

konsep “Kampus Merdeka” ini sudah lebih dulu diterapkan di Pendidikan Islam. Dalam artikel berjudul “Merdeka Belajar ala Imam Syafi’I” (pesantren.id, 25/02/20) menyebut bahwa pada masa lalu pendididikan Islam telah mempraktikkan tradisi merantau untuk mencari ilmu (rihlah ‘ilmiyah). Sejak berniat belajar,

mereka mempunyai kebebasan untuk memilih guru dan belajar sesuai dengan keinginannya. Tidak ada intervensi dari siapapun atau aturan apapun yang mengikat mereka.


Meski begitu, kebebasan  yang mereka miliki tidak begitu saja meninggalkan konsep Ta’dhim terhadap guru. Bagaimanapun ta’dhim terhadap guru adalah wajib demi mencapai keberkahanilmu itu sendiri


 

Meski begitu, kebebasan yang mereka miliki tidak begitu saja meninggalkan konsep  Ta’dhim terhadap guru. Bagaimanapun ta’dhim terhadap guru adalah wajib demi mencapai keberkahan ilmu itu sendiri. Inilah salah satu sebab kelimuan di masa lampau berkembang pesat, baik ilmu-ilmu keislaman maupun sosial dan sains. Tradisi kemerdekaan dalam mencari ilmu ini kemudian dipertahankan di banyak mPesantren di Indonesia, khususnya pesantren tradisional. Artikel berjudul “Konsep Merdeka Belajar Juga Diterapkan di

Pesantren” (suaramerdeka.com, 09/07/21) menyebut bahwa sejak awal masuk pesantren, santri-santri sudah didorong untuk “ngaji” sesuai dengan kompetensi yang diinginkan. Dicontohkan dalam artikel tersebut, santri bisa belajar ilmu alat di lirboyo dan belajar ilmu Al-Qur’an di Krapyak. Santri juga dibebaskan memilih mengaji di pondok terdekat meski dia bermukin di pondok yang lain.

 

Jika pesantren tradisional menerapkan tradisi rihlah ilmiyah sebagai contoh dari konsep “Merdeka Belajar”. Attaqwa Collage (ATCO) Depok sebagai gambaran Pesantren Modern juga memberikan contoh penerapan

polymath university yang merupakan bagian dari “Kampus Merdeka”. ATCO menetapkan Lima standar kompetensi lulusan sejak awal perkuliahan (Agustus 2019). Antara lain: (1) Adab/akhlak mulia (2) Pemikiran Islam (3) Bahasa Inggris dan Arab (4) Teknologi Informasi (5) Komunikasi lisan dan tulisan.

 

Jadi, sebenarnya secara tidak langsung Pesantren juga turut memberikan rekomendasi terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia. Dengan adanya Reformasi Pendidikan oleh Mendikbud

melalui “Merdeka Belajar” ini, turut memberikan peluang bagi Lembaga-Lembaga Pendidikan untuk memperbaiki orientasi dan proses pendidikannya. Terlebih Lembaga Pendidikan Islam. Akhinya, bagaimanapun pesantren haruslah tetap menjadi acuan dalam hal pendidikan yang menekankan pada aspek adab dan akhlak mulia, serta ilmu-ilmu yang bermanfaat. Wallahu A’lam bish-shawab.


img-1659337320.jpg



Komentar
  1. Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar

Testimonial

Facebook

Twitter