Pencarian

+

SISI NEGATIF KONTEN PSIKOLOGI

SISI NEGATIF KONTEN PSIKOLOGI
SISI NEGATIF KONTEN PSIKOLOGI

SISI NEGATIF KONTEN PSIKOLOGI

Oleh: M. Habibulloh A. (XII IMAD Ikhwan)

    Tak bisa dipungkiri bahwa di dalam hidup kita hari ini mulai banyak bersinggungan dengan dunia maya. Pasalnya, semua hal banyak tersedia disana. Mulai dari lifestyle, olahraga, teknologi, pendidikan, bahkan berita dan artikel seputar psikologi pun ada. Tapi apakah itu semua memiliki dampak positif secara mutlak? Terlepas dari siapa yang ‘mengonsumsi’, artikel dan berita tersebut tentunya tidak berdampak positif secara mutlak. Contohnya adalah artikel, berita, ataupun postingan Instagram yang membahas seputar psikologi. Terlebih di Instagram, kita sering mendapati postingan yang bermuatan konten psikologi yang mulai banyak membahas seputar permasalahan psikologi pada remaja zaman sekarang. Lalu, apakah hal tersebut adalah sesuatu hal yang buruk? Tidak juga. Sisi positifnya adalah di saat ini–dengan banyaknya artikel seputar psikologi–orang-orang tidak melulu harus ikut perkuliahan resmi di kampus untuk dapat informasi tentang psikologi dan kesehatan mental. Dengan banyaknya konten bermuatan psikologi yang tersedia kita menjadi tahu permasalahan psikologi yang kita ataupun orang lain alami. Bahkan di beberapa konten psikologi disediakan pula cara mencegah sampai mengatasi permasalahan tersebut. Di beberapa kasus kita dapat memahami dan memaklumi sikap seseorang yang ‘berbeda’ dengan kebanyakan orang. Ini mungkin saja bisa meminimalisir kejahatan diskriminasi terhadap orang-orang yang ‘berbeda’ tersebut. Diatas tadi adalah dampak positif dari konten bermuatan psikologi. Apakah cukup sampai disitu? Seperti yang disebutkan di awal, konten ini juga memiliki sisi negatif. Informasi yang mudah didapat ini justru menjadikan sebagian orang–meskipun tidak semuanya–mudah men-judge orang lain, mendiagnosis diri sendiri, bahkan memiliki dalih atau pembenaran atas kekeliruan yang dilakukan. Salah satu contohnya, beberapa tahun terakhir ada istilah populer yaitu “toxic parents”. Mungkin niat awalnya memang baik; memberi tahu para orang tua seputar perilaku apa saja yang masuk kategori “to”. Dengan mengetahui hal tersebut para orang tua diharapkan bisa memperbaiki perilaku mereka dalam mengasuh anak. Ironisnya, kini informasi tersebut malah sering digunakan oleh seorang anak untuk men-judge orang tuanya sendiri sebagai “toxic parents”. Malahan, informasi tersebut dijadikan dalih bagi seorang anak untuk membenarkan kekeliruan yang anak perbuat pada orang tuanya. Lalu dari mulut mereka keluar ucapan seperti “ya wajar lah saya kayak gini. Orang tua saya tuh toksik banget.” Padahal informasi semacam ini baiknya digunakan untuk diri sendiri. Maksudnya, informasi seperti ini bukan digunakan untuk melabeli orang tua kita ataupun orang lain, melainkan digunakan oleh diri kita sendiri sebagai bahan renungan, seperti; “apakah saya termasuk orang toksik?” Masih banyak lagi informasi seputar psikologi yang niat awalnya baik malah berujung kepada hal semacam tadi. Contoh lain, dalam persoalan gangguan jiwa. Misalnya tentang gejala depresi. Mungkin penulis konten yang berisi informasi psikologi itu berniat ingin mengedukasi orang-orang supaya apabila mengalami hal seperti yang diinformasikan bisa segera konsultasi ke ahlinya (psikolog atau psikiater), mengingat efek yang ditimbulkan masalah psikologi bisa berdampak buruk bagi kehidupan seseorang. Nah, yang jadi masalah bukanlah si penulis informasi tersebut, melainkan orang yang mengonsumsi informasi tersebut. Oleh sebagian orang infromasi tentang gejala depresi itu malah digunakan untuk mendiagnosis diri sendiri yang menyebabkan mereka menjadi larut di dalam kondisi yang seharusnya diperbaiki (baca: depresi). Padahal seharusnya informasi seputar hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana untuk menghakimi orang lain ataupun membenarkan kekeliruan yang dilakukan diri sendiri. Agak lucu sebenarnya. Jika dilihat dari catatan masa lalu, sekiranya orang tua kita ataupun kakek nenek kita dan orang-orang yang hidup pada masa sebelum sekarang tidak berlarut dalam masalah mental yang dialami. Boleh jadi mereka hanya merasakan masalah kesehatan mental saja dan tidak mengenal istilah seperti; stres, depresi, bahkan istilah ‘masalah kesehatan mental’ itu sendiri. Alhasil, mereka menganggap hal tersebut sebagai hal biasa yang mungkin saja sembuh dengan sendirinya. Adalah sesuatu yang benar jika dikatakan “kan kita beda generasi dengan mereka.” ataupun “di zaman mereka itu

kan ilmu seperti itu tidak seperti sekarang. Mungkin pada saat itu penelitian tentang ‘mental’ seseorang belum mencapai titik kemajuan seperti sekarang.” Jika perkataan tersebut bisa dianggap benar, berarti perkataan seperti; “orang zaman dulu kuat-kuat mentalnya, sedangkan orang zaman sekarang mulai melemah mentalnya.” bisa dibenarkan. Lebih dari pada itu, perkataan sarkas seperti “anak zaman sekarang itu alay.” juga bisa dibenarkan. Tapi apabila diperhatikan secara seksama maka kita akan mendapati bahwa kebanyakan orang yang terpengaruh sisi negatif informasi seputar psikologi tersebut adalah dari kalangan perempuan. Dalihnya yaitu “perempuan kan lebih mengedepankan perasaan dibanding lakilaki yang lebih mengedepankan logika.” Contoh simpel-nya dapat kita lihat dari dua SPUM di majalah Al-Bayan pada dua edisi sebelum ini dengan judul “Menyikapi Kritikan” dan “Bye-Bye Overthinking” yang ditulis oleh santriwati. SPUM dengan judul “Menyikapi Kritikan” memanglah tidak membahas seputar masalah psikologi secara langsung. Tapi setidaknya si penulis bertujuan ingin memberikan solusi dan motivasi kepada orang-orang yang sering mendapat masalah psikologi yang ditimbulkan dari kritikan orangorang sekitar. Sedangkan SPUM dengan judul “Bye-Bye Overthinking” mulai masuk kepada masalah psikologi yang katanya sering dialami remaja saat ini yaitu overthinking.

Tapi apabila diperhatikan secara seksama maka kita akan mendapati bahwa kebanyakan orang yang terpengaruh sisi negatif informasi seputar psikologi tersebut adalah dari kalangan perempuan. Dalihnya yaitu “perempuan kan lebih mengedepankan perasaan dibanding laki-laki yang lebih mengedepankan logika.”

Intinya kedua penulis tersebut kemungkinan besar menulis SPUM berdasarkan pengalaman pribadi. Atau setidaknya berdasarkan hal yang sering terjadi di antara teman-temannya (baca: masalah kesehatan mental). Contoh lain, di dalam acara seminar psikologi yang diselenggarakan oleh IMAD dengan pesertanya dari santri IMAD sendiri baik ikhwan maupun akhwat, ada yang bertanya kepada pembicara yang intinya menanyakan bagaimana menjaga kesehatan mental. Sekiranya 3 contoh di atas bisa menjadi bukti bahwa korban dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh konten berisikan informasi seputar masalah psikologi didominasi oleh perempuan. Bagaimana dengan laki-laki? Terlepas dari dampak yang ditimbulkan kedepannya terhadap kehidupan mereka, laki-laki lebih cenderung bersikap ‘bodo amat’ terhadap masalah seperti itu. Mungkin alasannya karena laki-laki selalu ingin terlihat kuat di depan umum atau minimal tidak terlihat lemah. Bisa jadi tulisan ini sedikit-banyak menyinggung beberapa pihak. Namun berdasarkan nama rubrik tempat tulisan ini berada yaitu Speak Up Ur Mind (ungkapkan pikiranmu), berarti tulisan ini berdasarkan pendapat, dan pikiran penulis terhadap sisi negatif konten psikologi. Jika berdasarkan pendapat dan pikiran penulis, maka dapat dimaklumi apabila di dalamnya terdapat perbedaan pendapat bahkan sampai menyinggung pihak lain. Di dalam pembelajaran kita mengetahui bahwa ada mahfuzhat yang berbunyi: likulli ra’sin ra’yun (di setiap kepala memiliki pendapatnya masing-masing). Inilah pembelaan penulis bila tulisan ini sedikit menyinggung beberapa pihak.



Komentar
  1. Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar

Kategori
Artikel Populer
Video
Event Terdekat
Tidak Ada Event Terdekat

Testimonial

Facebook

Twitter