Pencarian

+

ORIENTASI BELAJAR SANTRI ZAMAN NOW

ORIENTASI BELAJAR SANTRI ZAMAN NOW
ORIENTASI BELAJAR SANTRI ZAMAN NOW

   img-1632725626.jpg


Oleh: Didik Hermanto (Pemred)

     Santri sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung dua makna. Makna Pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, adapun makna kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.

Dari segi bahasa ada berbagai pendapat para ahli terkait asal muasal kata santri. Nurcholis Madjid melalui bukunya Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) berpendapat kata “santri” bisa berasal dari bahasa Jawa, cantrik maknanya “orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya”.

M. Habib Mustopo (2001), mengatakan kata “santri” berasal dari bahasa Sangsekerta “sastri”, yang artinya “melek huruf” atau “bisa membaca”. 

Yang menarik santri juga dikaitkan dengan bahasa inggris Sun (Matahari) dan three (tiga). Makna tiga matahari ini menurut pendapat Aris Adi Leksono dalam tulisannya di NU Online merupakan tiga hal yang harus dimiliki oleh setiap santri, yaitu iman, islam dan ihsan. Sedangkan menurut Fajriudin Muttaqin (2015) tiga matahari tersebut merujuk kepada “ketaatan kepada Allah, menjaga ketaatan kepada Rasul-Nya, dan menjaga hubungan dengan para pemimpin”.

Adapun dari sisi istilah banyak pula yang memberikan penjelasan tentang pengertian santri. Namun penurut penulis pendapat Zamakhsyari Dhofier (1977) lebih sesuai dengan kondisi saat ini. Dhofier menjelaskan pengertian santri adalah orang yang mendalami ilmu agama baik dia tinggal di pesantren atau pulang setelahnya. Nah, dari pengertian tersebut muncul istilah santri mukim (Boarding) dan santri kalong (Fullday).

Salah Niat 

Sebagaimana diketahui, berdirinya pesantren biasanya bermula dari keinginan santri untuk mendalami agama Islam dengan cara mendatangi seorang kiai atau ulama yang tinggal di suatu tempat. Keinginan tersebut tertanam kuat sejak awal, meski tak jarang dari mereka yang datang dari daerah yang jauh. 

Berbekal niat yang kuat, mereka dengan tekun belajar ilmu agama hingga khatam dan memahaminya dengan mendalam. Meski demikian mereka juga tidak melupakan hal yang terpenting dalam belajar. Yaitu menjaga adab terhadab gurunya. Inilah yang menjadi pegangan santri terdahulu, sebagaimana perkataan yang dinukil KH. Hasyim As’ari dari ulama sufi Abdullah bin Al-Mubarak dalam kitab Adabul ‘Âlim wal Muta‘allim 

نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ

“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak.”

Pentingnya adab sebelum berilmu tersebut telah banyak dicontohkan oleh ulama terdahulu. Salah satunya pada masa sahabat. Suatu saat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pergi ke rumah Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu untuk menuntut ilmu.  Karena Zaid tidur, maka beliau menunggu di depan rumahnya sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan kepada seorang alim. Bahkan ia tidak mengetuk pintunya sampai Zaid keluar dari rumahnya.

Ketika keluar, dialah yang memegang tali onta dan mendampingi Zaid. Melihat Abdullah bin Abbas memperlakukannya demikian, lalu Zaid berkata, “Wahai keponakan Rasulullah SAW, mengapa kamu tidak menyuruh aku ke rumahmu saja lalu aku datang kepadamu?” Ibnu Abbas menjawab, “Demikianlah kami diperintah berbuat kepada ulama-ulama kami.”

Diceritakan pula, bahwa Imam As-Syafi’i, setiap kali memegang lembaran kertas kitab, ia memegangnya dengan lembut dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir Imam Malik mendengarnya. Begitupula dengan muridnya Imam As-Syafi’i, Ar-Rabî’ bin Sulaiman, ia mengatakan, “Demi Allah aku tak berani minum, sedang Imam As-Syafi’i sedang melihatku.”

Di beberapa pesantren tradisional, tradisi ini sering disebut ngalap berkah atau sering diistilahkan Ziyadatul khair (bertambahnya kebaikan). Hal tersebut seolah menjadi dasar yang wajib dimiliki oleh para santri dalam rangka menjaga hubungan antara santri dengan kyainya

Hubungan antara kiai dan santri dalam pesantren ini terjalin dalam bingkai tradisi sami’na wa atha’na yaitu, suatu sistem yang mengharuskan bagi santri untuk mendengarkan dan menaati apa kata kiai. Disadari atau tidak ”proses ketaatan” kepada sang kiai ini diyakinii salah satu jalan kesuksesan santri dalam menuntut ilmu hingga kelak ia pulang berjuang di masyarakat. 

Alhasil setelah lulus pesantren banyak diantara santri yang mengamalkan ilmunya dengan terjun langsung ke dakwah masyarakat. Keberhasilan mereka mengamalkan ilmu yang didapatnya di pesantren merupakan keberkahan yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Itulah sebenarnya tolok ukur kesuksesan santri zaman dahulu. 

Dari sinilah kita bisa memahami bahwa keberkahan dalam belajar merupakan orientasi utama belajar santri zaman terdahulu. 

Seiring perkembangan zaman, orientasi santri mencari keberkahan dalam belajar mulai tergerus dengan motivasi lain. Tak jarang kita mendengar seorang anak dimasukkan ke pesantren hanya untuk menghindari pergaulan bebas. Adapula yang memilih pesantren dengan mempertimbangkan sebatas fasilitas yang bagus, serta metode dan sistem pendidikan yang sekadar menjanjikan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Akibatnya pesantren saat ini bertransformasi menjadi lembaga pendidikan formal dan mulai mengesampingkan formalitas pesantren yang sebenarnya. Modernisasi pendidikan pesantren yang selama ini digalakkan seolah “kebablasan” hanya karena ingin memfasilitasi keinginan santri saat ini.

Realitas itulah yang saat ini kita lihat, seolah-olah pesantren beralih fungsi menjadi kos-kosan para santri, bukan lagi tempat mengaji.

Luruskan Niat dan Perbaiki Adab

Sebagaimana dijelaskan di atas, bergesernya sistem pendidikan pesantren menjadi lembaga formal tidaklah lepas dari motivasi santri saat ini. Maka untuk mengembalikan mutu kualitas pesantren seperti dahulu tentu saja dengan cara mengembalikan niat awal santri itu sendiri. 

Memang perkembangan ilmu dan teknologi berbeda dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, mengembalikan niat mencari keberkahan tidak boleh diartikan bahwa santri harus kembali kepada pembelajaran kitab-kitab kuning dan lain-lain. Namun lebih dari itu, apapun ilmu yang ingin diperoleh, Sains, Teknologi, serta ilmu terapan lainnya, harus berdasarkan prinsip “keberkahan”. 

Komitmen menjaga niat tersebut tentu saja tidak cukup bagi seorang santri. Hal tersebut harus diikuti dengan menjaga adab dan loyalitas kepada guru agar ilmu yang didapat itu diberkahi.

Dr. Adian Husaini dalam seminar pendidikan di Pesantren Terpadu Daarul Fikri mengingatkan perkataan Umar bin khattab yakni, “taaddabu tsumma ta’allamu” beradablah kalian kemudian berilmulah kalian. Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya adab sebelum berilmu.

Setelah kedua syarat tersebut sudah dilakukan, baru sebagai seorang santri harus tetap meningkatkan potensi diri pada bidang ilmu-ilmu tertentu. Potensi diri inilah yang harus senantiasa dibenahi oleh para santri sehingga kedepan siap menghadapi berbagai tantangan dan siap menjadi para pemimpin masa depan. “Syubbanul Yaum Rijalul Ghod” pemuda hari ini merupakan pemimpin di masa yang akan datang.

Santri zaman now adalah santri yang senantiasa berpegang teguh pada niat dan adab. Mereka adalah  santri yang senantiasa menjaga dan melestarikan tradisi lama yang baik meski berada di zaman milenial. Artinya, kebiasaan-kebiasaan baik santri harus tetap dipertahankan meskipun berada di zaman yang berbeda. Itulah yang dimaksud oleh ulama salafus shalih Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah (Memelihara tradisi-tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi-tradisi baru yang lebih baik). Wallahu a’lam

Komentar
  1. Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar

Testimonial

Facebook

Twitter