Pencarian

+

Antara Islam Dan Budaya

Antara Islam Dan Budaya
Antara Islam Dan Budaya

Jika dilihat dari makna agama dan kebudayaan secara umum, keduanya memiliki persamaan, yaitu; keduanya sama-sama mengatur tatanan hidup manusia. Namun di antara perbedaannya, agama mengatur tatanan hidup manusia yang berhubungan dengan Sang Pencipta (vertikal) dan antar manusia serta lingkungan sekitar (horizontal), sedangkan budaya mengatur tatanan hidup manusia hanya lebih kepada hubungannya secara horizontal saja. Budaya tidak terlalu banyak ikut campur dalam mengatur manusia seputar hubungan vertikal pada Sang Maha Pencipta.

Banyak yang berpandangan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan sedangkan yang lain berpendapat bahwa kebudayaan merupakan bagian dari agama. Namun, sejatinya agama bukanlah bagian dari budaya, dan budaya bukanlah bagian dari agama. Dikatakan seperti ini adalah karena agama bersumber dari “Tuhan”, sedangkan budaya bersumber dari manusia.

Terlebih lagi, agama Islam adalah agama yang memiliki konsep yang tetap (tsawabit) yang dirumuskan berdasarkan wahyu, dan bukan oleh budaya. Inilah yang menjadikan Islam disebut sebagai agama wahyu (revealed religion) dan bukan agama budaya (cultural religion)

Meskipun begitu, agama dan budaya adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Mengenai agama dan budaya, ada dua pernyataan yang penting diperhatikan. Pertama, kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cita[1]cita manusia yang dapat berubah setiap waktu, ruang, dan tempat. Dengan adanya budaya membuat kehidupan manusia menjadi lebih terarah dan mendapat tempat yang semestinya di mata manusia itu sendiri. Kedua, Islam bukanlah produk budaya. Namun, timbulnya budaya dapat terinspirasi dari efek adanya agama itu sendiri.

Islam bukanlah agama yang menentang tradisi dan budaya. Namun apabila ada tradisi atau budaya yang bertentangan dengan syari`at Islam, maka yang harus dikalahkan adalah tradisi atau budaya tersebut. Meskipun begitu, tetap saja banyak dari kebudayaan manusia yang tetap dipertahankan eksistensinya ANTARA ISLAM DAN BUDAYA Oleh: Habibullah Addawam (Redaktur Tahun 2020-2021) J 23 MAJALAH AL-BAYAN EDISI 24 di kalangan manusia oleh Islam. Malah di sisi lain Islam mempengaruhi tradisi tersebut sehingga menjadi tradisi baru dalam masyarakat yang lebih baik.

Islam tidak menghapus tradisi yang sudah berjalan di kalangan masyarakat selama tradisi itu tidak mengandung unsur kemusyrikan dan tidak merusak aqidah serta masih bisa direkonstruksi dan diakulturasikan dengan ajaran Islam.

Sebagai contoh; adanya kubah pada bangunan masjid. Kubah adalah budaya arsitektur orang-orang non-Islam yang sudah ada sejak bangsa Yunani Berjaya sebelum ditaklukan bangsa Romawi. Namun oleh Islam diserap dan diaplikasikan dalam pembuatan masjid.

Ini diperbolehkan karena menurut sejarah ketika Khalifah Umar menguasai Palestina, beliau membangun Al-Aqsha dan Al-Sakhra’ dengan kubah emas. Itu bertujuan agar umat Islam tidak terpesona dengan bangunan milik orang kafir (kuil, sinagog, gereja) yang megah dengan kubah. Selain itu, kubah diperbolehkan karena tidak terkait dengan masalah aqidah.

Perlu diketahui bahwa suatu hal yang baru ataupun minoritas (bisa berupa agama, budaya, ataupun suatu ras manusia, dll. yang datang ke suatu tempat yang mayoritasnya berbeda dari hal yang baru dan minoritas tersebut) dalam mendapatkan pengakuan haruslah lebih banyak menerima daripada ingin diterima.

Sebagai contoh; Islam datang ke Nusantara pada waktu itu adalah suatu hal yang baru dan tentunya menjadi minoritas dibanding paham animisme (paham kepercayaan yang memuja roh atau arwah orang yang telah meninggal) dan paham dinamisme (paham kepercayaan yang menganggap bahwa benda mati memiliki jiwa atau bahkan memiliki kekuatan gaib).

Oleh karena itu para ulama yang mengajarkan Islam pada masa awal mula Islam masuk ke Nusantara (salah satunya adalah Wali Songo) mengakulturasikan tradisi yang sudah mengakar di kalangan masyarakat sejak dahulu dengan nilai[1]nilai keislaman tanpa berbelok dari syari`at yang lurus.

Hal yang selanjutnya mereka lakukan adalah islamisasi terhadap hal-hal yang menjadi tradisi di kalangan masyarakat Indonesia zaman dahulu. Islamisasi dilakukan dengan mengambil suatu hal positif dari tradisi masyarakat Indonesia zaman dahulu yang kompatibel dengan Islam untuk dimasukkan ke dalam ranah pandangan hidup Islam. Dalam Islamisasi yang terjadi, Wali Songo juga melakukan filterasi dengan meninggalkan yang tidak kompatibel atau bahkan berseberangan dengan Islam.

Jika dipelajari melalui sejarah maka sepatutnya seorang da`i yang diutus untuk berdakwah di tempat baru harus melakukan retorika dakwah terlebih dahulu berupa akulturasi dan islamisasi kebudayaan dan tradisi setempat. Mereka tidak boleh langsung memaksakan ajaran Islam kepada masyarakat Indonesia karena hal itu tentunya akan ditolak secara mentah-mentah oleh mereka. Apalagi Islam pada waktu itu merupakan hal yang baru di masyarakat Indonesia.

Menurut Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi; bahwasanya untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing. Namun untuk bersikap adil terhadap peradaban lain bukan berarti bersikap permisif (terlalu terbuka) terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain. Sebab di dalam Islam makna adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Perselisihan pemaknaan antara agama dan budaya memang sering dibahas dan dikaji di berbagai platform media sosial dan sebagainya. Mengakhiri perdebatan panjang ini, kita tidak bisa mengeluarkan klaim bahwa pendapat kita adalah pendapat yang benar dan yang lain menyimpang. Kita tidak mengetahui secara pasti mana yang haq (kebenaran yang jelas dan absolut) dan mana yang sowab (kebenaran yang masih bisa diperdebatkan).

Mengutip perkataan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, bahwasanya Allah tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Karena di dalam Islam yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Allahu a`lam bi as-sowab.

Komentar
  1. Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar

Testimonial

Facebook

Twitter